Minggu, 02 Mei 2010

Cara Daftar dan Bermain di Formspring.Me

Buat semua pengunjung, ada mainan baru nih, tempat tanya jawab... Mainan baru yang satu ini namanya adalah formspring.me, situsnya mirip dengan sosial network atau microblogging lainnya cuma lebih simple dan fun. Mengapa bisa dibilang fun.. karena disini kita dibuat seolah-olah kita ini adalah orang yang penting. Kita bisa mengundang teman-teman kita untuk membuat pertanyaan apa saja dan kita yang akan menjawabnya dan yang lebih seru disini kita juga bisa follow temen-temen yang juga punya akun formspring and jadinya kita juga bisa ngeliat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terupdate oleh teman kita tersebut.

Ok, supaya lebih ngerti silahkan langsung aja kita menuju ke situsnya di www.formspring.me setelah masuk ke situsnya formspring, baru cari tulisan SIGN UP dan mulai untuk create account seperti kita daftar facebook atau twitter.

Kalo semuanya udah selesai, lanjutin ke setting, di halaman ini kamu bisa menambah foto, info pribadi dan alamat situs atau website milik kita..en pada kotak yang bertulis WHAT DO YOU WANT TO ASK.. disini kita bebas mau nulis apa aja, misalnya kata ASK ME ANYTHING di kotak itu diganti TANYA AKU APA SAJA atau lainnya sesuai kemauan kita.

Turun ke bawah pada pengaturan terakhir yang bertulis "Spam/abuse prevation" yang ini sih biarin aja gak usah dicentang.. dengan begini temen-temen yang ga punya akun formspring juga tetap bisa ikut buat pertanyaan.. Setelah semuanya beres, baru SAVE.

Masuk tahap berikutnya,, masih di halaman setting..
kita juga bisa ganti layout formspring lewat “Design” dan juga mentransfer formspring kita ke blog atau juga twitter lewat setting “Service” prosesnya hampir mirip pushmail gituu &langsung terkoneksi ke twitter ataw blog kita.. pokoknya kerennn..

Yang terakhir,,
Kalau sudah ada temen yang juga punya akun ini kita bisa follow mereka dengan mencari mereka lewat perintah "Find People".. masukin nama mereka dan follow, maka selesai deh semuanya.. upss masih bingung gimana caranya lihat jawaban2 terUpdate mereka.. nah klik aja perintah FOLLOWING, di sanalah akan kluar updatenya.

INBOX..
hampir aja hal yang penting ini tertinggal.. Yang satu ini adalah foldernya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada kita.. jadi,, kita tinggal putusin mau jawab atau di delete.. Caranya, centang kotak kecil yang ada di depan pertanyaannya lalu klik pilihan kita mau jawab atau delete tadi atau kalo kita yakin mau jawab semua pilih aja "select all" yang ada di bawah lalu klik jawab.. dan keluarlah kotak2 kosong.. ini untuk isi pertanyaannya dan kalo semua udah beres klik "SAVE" tapi seblumnya centang dulu kotak2 kecil yg bakal kita salurkan kmana aja formspring ini..

follow saya yah http://formspring.me/arierzk

Teori dalam perkembangan pengkajian hukum islam di indonesia

Dalam perkembangan pengkajian hukum islam di indonesia kita lihat ada teori-teori tentang berlakunya hukum islam di indonesia. Tergambarkan ada 6 teori yaitu:
1. Ajaran Islam Tentang Penataan Hukum.
Kita ketahui bahwa di dalam masyarakat indonesia sebelum Belanda datang, islam telah mempengaruhi bentuk masyarakatnya dan mempengaruhi perilaku hukum masyarakat dan tata hukum indonesia. Ada buku-buku yang terkenal dari mazhab syafi’i yang di pakai dalam membentuk masyarakat dan dalam norma-norma kehidupan pemerintahan kerajaan dan kesultanan di Indonesia pada masa lalu. Misalnya Al-Ahkam al-Sulthaniyyah mempengaruhi unit-unit masyarakat di Aceh, di bidang pemahaman dan pengalaman ketatanegaraan. Buku inilah yang dipakai oleh kesultanan Aceh untuk membentuk unit-unit kemasyarakatan Aceh dan tingkatan-tingkatannya (mikmin).

Kebijaksanaan taklif ialah kebijaksanaan dalam penerapan suatu ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukailaf (subjek hukum) dengan melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia itu, melihat kepada kemampuan fisik dan rohani (sudah dewasa), mempunyai kebebasan dan mempunyai akal sehat, disamping mempunyai kondisi pribadi yang sangat khusus ada padanya. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan taklif, hukum suatu perbuatan bagi seseorang yang berbeda dengan huku perbuatan itu bagi orang lain. Contohnya mencuri. Ketentuan hukum mengatakan bahwa pencuri laki-laki dan perempuan di potong tangannya. Disini terlihat bahwa penerapan hukum itu dengan melihat situasi dan kondisi orang tersebut. Bila pencuri itu mencuri sekedar untuk makan, pada masa khalifah umar bin khattab, ketentuan potong dengan tangan tidak diterapkan, tetapi pencuri itu dilepaskan, malah dibantu dengan di beri makanan. Terlihat degan jelas bahwa untuk menerapkan hukum islam, islam sendiri menghendaki dengan dasar kesadaran manusia, kesadaran lahir dan batinnya, cita-cita moral dan cita-cita batinnya. Penataan dan penerapan hukum islam didalam masyarakat manusia memerlukan kesadaran manusia dari segi batin dan imannya. Mikmin yang sadar batinnya dan kuat imannya akan dengan suka penuh harap menanti hukum islam.

Penataan hukum islam bagi pribadi muslim sangat dikaitkan dengan kesadaran dan ketaatan agama pribadi Muslim tersebut. Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, kata pribadi anggota masyarakat bersikap sadar dan taat, maka secara automatis keadaan sadar dan taat kepada Allah tercipta dalam masyarakat itu. Masyarakat demikian adalah masyarakat Islam (muslimin). Dari segi islam sendiri penaatan hukum adalah karena Allah , dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul, bukan karena pengaturan organisasi bersama. Dalam pemikiran hukum islam, ketaatan terhadap hukum islam bukan karena organisasi negara atau kekuasaan organisasi bermasyarakat bahkan karena kesadaran moral batin, dan lahir dalam beragama dan kehidupan beragamanya secara pribadi.

2. Teori Penerimaan Autoritas Hukum

Teori ini dikemukakan oleh H.A.R Gibb, menyebutkan pemikiran tersebut merupakan teorinya, namun penulis melihat bahwa ungkapannya yang didasarkan atas observasinya dalam penelitiannya itu memuat nilai teori yang penting. Ungkapan teoritis ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Islam dengan teori penataan hukum bagi masyarakat islam didalam kehidupan bernegara, dari negara yang kuno sampai negara moderen. Ungkapan tersebut sangat bernilai mengungkapkan hakikat beradanya hukum islam dalam masyarakat islam dan mengungkapkan sikap masyarakat islam terhadap hukum islam. Ungkapan ini bernilai pula untuk memahami hubungan antara hukum islam dengan masyarakat islam.

Setelah kegiatan penelitiannya tentang hukum islam perkembangan hukum islam, asal-usul ajaran hukum dan pertumbuhannya dalam praktek masyarakat islam, H.A.R Gibb mengungkapkan tentang sifat hukum islam yang luwes berpadu, mengadopsi ajaran hukum dan keadaan yang telah ada di dalam masyarakat. Gibb menunjukkan dengan jelas praktek hukum yang hidup di dalam masyarakat islam yang bersumber dari kaidah fiqhiyah: al-a’dah muhakkamah. Hal tersebut menunjukkan daya asimilasi hukum dari hukum islam yang sangat kuat, yang mempengaruhi dan membentuk praktek hukum, pelaksanaan hukum, dan ketaatan hukum masyarakat terhadap hukum islam. Menurut Gibb, “Bagaimana pun orang islam tak dapat menjauhkan diri dari pengaruh unggul spiritual hukum islam yang telah berakar dalam. Gagasan bahwa hukum agama, yaitu konsepsi bahwa hukum harus dikuasai oleh agama, telah menjadi bagian hakiki dan pandangan islam.” Terlihat dengan jelas bahwa Gibb, setelah penelitiannya menyatakan data keadaan hukum masyarakat islam bahwa masyarakat kalau telah menerima Islam sebagai agamanya, menerima autoritas hukum islam walaupun mereka masih menaati aturan hukum masa pra-islam asal tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hukum islam. Gibb melihat kenyataan sosial bahwa masyarakat menerima autoritas hukum islam karena mereka beragama islam. Namun Gibb sendiri tidak mempersoalkan apa sebabnya mereka menerima autoritas hukum tersebut. Dari ayat-ayat Al-Quran terungkap bahwa memnag didalam Islam ada ajaran tentang penataan hukum. Di dalam islam ada doktrin hukum dan penataannya, para ahli barat mengungkapkan kenyataan sosial agama yang ada bukan dari ajaran agama sendiri, melainkan dari kenyataan riel.

3. Teori Receptie in Complexu
Sebelum VOC di Indonesia telah banyak kerajaan islam yang memberlakukan hukum islam, yang pada umumnya menganut paham hukum mazhab syafi’i. Di kerajaan yang ada di indonesia telah pula di terapkan norma-norma hukum islam. Kerajaan yang telah memberlakukan hukum islam dan terkenal ialah kerajaan samudra pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Surabawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, Palembang, dan lainnya. Di wilayah kerajaan tersebut diberlakukan hukum islam dan ada lembaga peradilan agamadengan berbagai nama.

Pada masa orang Barat, khususnya Belanda (dalam hal ini VOC) datang di Indonesia, mereka mengalami pengaruh autoritas kesultanan-kesultanan tersebut. Setelah Belanda mulai menguasai sebagian wilayah nusantara, mereka tetap mengakui kenyataan bahwa bagi orang pribumi diberlakukan hukum agamanya. Maka oleh para ahli Belanda dibuatlah pelbagai kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam penyelesaian urusan hukum rakyat pribumi yg tertinggi diwilayah yang di kuasai ole VOC, kemudian Nederlandsch Indie. Yang terkenal adalah :
a. Compendium Freijer yang merupakan kitab hukum kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan islam oleh pengadilan VOC.
b. Cirbonsch Rechtboek yang di buat atas usul residen cirebon.
c. Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig getrokken uit hea Mohammedaansche Wetboek Mogharraer, di buat untuk Landraad Semarang.
d. Compendium Indlansche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa, di sahkan oleh VOC untuk daerah makassar.
Tampaknya teori Receptie in Complexu muncul sebagai rumusan dari keadaan hukum yang ada dan bersumber dari prinsip hukum Islam bahwa bagi orang islam berlaku hukum islam. Van den Berg mengonsepkan Stbl. 1882 No. 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berada didalam lingkungan hidupnya. Praktisnya yang berlaku untuk rakyat jajahan yang beragama Islam di indonesia adalah hukum islam. Karena yang berlaku ketentuan atau norma hukum islam, maka badan peradilan agama, yang pada waktu pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah ada dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya.

4. Teori Receptie
Teori ini di kemukakan oleh Prof.Christian Snouck Hurgronye, kemudian dikembangkan oleh C.Van Vollenhoven.

Snouck Hurgronye adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1898 tentang soal-soal islam dan anak negeri. Untuk mempelajari agama islam, ia memasuki Mekkah dengan nama samaran Abdul Gaffar pada tahun 1884-1835, dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang foto. Disamping keahliannya dalam bidang hukum islam Snouck Hurgronyejuga ahli dalam hukum adat sebagian daerah indonesia. Tulisan-tulisannya adalah De Atjehers dan De Gajoland.

Teori receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum islam berlaku kalau norma hukum islam itu telah di terima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronye, kemudian di kembangkan oleh Van Vollenhoven dan Ter haar Brn.

Setelah mendalami hukum islam dan umat islam di Arab dan di indonesia, khusunya Aceh, dan jaw barat, Snouck Hurgronye melihat bahwa sikap pemerintah Hindia Belanda sebagaimana di tuangkan dalam Stbl. 1882 No. 152 yang dilandasi teori receptio in complexu bersumber dari ketidak mengertian terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya masyarakat islam. Ia berpendapat bahwa sikap terhadap islam selama ini merugikan pemerintah jajahan sendiri. Maka dalam kedudukannya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronye memberikan nasihat yang terkenal dengan nama “Islam Policy”. Ia merumuskan nasihatnya kepada pemerintah Hindi Belanda di dalam mengurus islam di indondesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi agar lebih dekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintahan Hindia Belanda, digariskan sebagai kebijaksanaan di bidang pendidikan agama, hukum dsb.

Sejak staatsblad itu merupakan konsep dan di terapkan terjadilah dialog yang besar antara pemerintah dengan ulama di indonesia, yang akhirnyadlam kaitannya dengan masalah waris, pengadilan agama mempunyai wewenang memberikan fatwa yang disebut fatwa waris, fatwa ahli waris, tau fatwa malwaris, tetapi fatwa tidak berstatus keputusan. Dalam kenyataannya sekarang, fatwa waris di pengadilan agama sangat banyak, bahkan perkara waris untuk daerah DKI jakarta lebih banyak dari pada perkara waris yang di tangani oleh pengadilan negeri, juga di tempat lain.

5. Teori Receptie Exit

Dalam bukunya. Tujuh serangkai tentang hukum, kita melihat pandangan Prof. Hazairin,S.H. tentang fungsi hukum dan hukum islam serta sumber hukum islam. Prof. Hazairin S.H berpendirian bahwa setelah indonesia merdeka, setelah proklamasi dan setelah UUD 1945 dijadikan UUD Negara, maka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 45, seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan ajaran teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan UUD 45. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah rasul.

Setelah proklamasi, kemudian undang-undang dasar 1945 dinyatakan berlaku yang didalamnya ada semangat merdeka di bidang hukum, dengan peraturan peralihannya guna menghindari kevakuman hukum masih di berlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan bangunan hukum yang ada selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 45. Beliau berpendapat bahwa banyak aturan pemerintahan Hindia Belanda yang bertentangan dengan Undang-undang dasar, terutama yang merupakan dengan produk dari teori receptie.

6. Teori Receptie a Contrario

H.Sayuti Thalib, S.H. pengajar utama Fak.Hukum Universitas Indonesia, menulis buku Receptio A Contrario : hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Dalam buku ini di ungkapkan perkembangan hukum islam dari segi politik hukum. Oleh karena itu, diungkapkan politik hukum penjajah Belanda, teori receptio a contrario perubahan dan perkembangan hukum islam dalam praktek, dan dibicarakan pula teori receptio acontrario.

Kalu di baca sekilas, seolah-olah teori receptio a acontrario adalah teori Prof.Hazairin karena dalam tulisan tersebut disebut Prof.Dr.Hazairin,S.H. sebagai penentang teori receptie. Namun kalu dikaji lebih mendalam, terlihat bahwa teori receptio a acontrario adalah pengembangan ajaran Prof.Hazairin, teori receptie exit. Hal tersebut akan sangat jelas kalau Bab delapan (receptio a acontrario) dibaca dan dipahami sekaligus dengan Bab sembilan (Hukum perkawinan Islam Berlaku penuh dan Hukum kewarisan islam berlaku, Tetapi dengan beberapa penyimpangan) dan Bab sepuluh (Hasil penelitian tentang Hukum perkawinan dan kewarisan) sebagai satu keseluruhan. Hasil penelitian dan uraian tentang hukum yang berlaku (perkawinan dan kewarisan) menghasilkan pendapat bahwa :
1) Bagi orang islam berlaku hukum islam
2) Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya.
3) Hukum adat berlaku bagi orang islam kalau tidak bertentangan dengan agama islam dan hukum islam.

Resume MLM Syariah

MLM Syariah merupakan pilihan mutlak bagi seorang muslim yang ingin berkecimpung di dunia MLM. Hal ini menjadi penting karena kesesuaian MLM tersebut dengan aturan Syariah Islam merupakan kunci kehalalan rizqi yang didapat. Nah untuk itu kita perlu mengetahui beberapa hal mengenai MLM Syariah
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Pada dasarnya, berbisnis dengan metode ini boleh-boleh saja, karena hukum asal mu’amalah itu adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Penulis melihat bahwa pada prakteknya masih sering terdapat berbagai penyimpangan dari aturan syariah, sehingga adalah tugas kita bersama untuk meluruskannya.
Secara sepintas MLM Syariah bisa saja tampak tidak berbeda dengan praktek-praktek bisnis MLM konvensional. Namun, kalau kita telaah lebih jauh dalam proses operasionalnya, ternyata ada beberapa perbedaan mendasar yang cukup signifikan antara kedua varian MLM tersebut.
Pertama, sebagai perusahaan yang beroperasi syariah, niat, konsep, dan praktek pengelolaannya senantiasa merujuk kepada Alqur’an dan Hadist Rasulullah SAW. Dan untuk itu struktur organisasi perusahaan pun dilengkapi dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari MUI untuk mengawasi jalannya perusahaan agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Kedua, usaha MLM Syariah pada umumnya memiliki visi dan misi yang menekankan kepada pembangunan ekonomi nasional (melalui penyediaan lapangan kerja, produk-produk kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau, dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah di tanah air) demi meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, dan meninggikan martabat bangsa.
Ketiga, sistem pemberian insentif disusun dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Dirancang semudah mungkin untuk dipahami dan dipraktekkan. Selain itu, memberikan kesempatan kepada distributornya untuk memperoleh pendapatan seoptimal mungkin sesuai kemampuannya melalui penjualan, pengembangan jaringan, ataupun melalui kedua-duanya.
Keempat, dalam hal marketing plan-nya, MLM Syariah pada umumnya mengusahakan untuk tidak membawa para distributornya pada suasana materialisme dan konsumerisme, yang jauh dari nilai-nilai Islam. Bagaimanapun, materialisme dan konsumerisme pada akhirnya akan membawa kepada kemubaziran yang terlarang dalam Islam.

12 syarat agar MLM menjadi syari’ah
1. Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
2. Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
3. Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
4. Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
5. Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
6. Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.
7. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
8. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir
9. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
10. Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
11. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
12. Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.
Perspektif Islam
Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya)
Islam memahami bahwa perkembangan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm ( merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur.
1, Maysir (judi),
2, Aniaya (zhulm),
3. Gharar (penipuan),
4 Haram,
5, Riba (bunga),
6. Iktinaz atau Ihtikar dan
7. Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.di atas..

Makalah Hukum Ekonomi Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah

Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama tertentu. Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat.
Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.
Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hukum islam tetap dipakai dibeberapa bidang hukum disam ping hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui, gelombang reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat paper dengan mengambil judul ”Kajian Kritik Terhadap Teori Receptio In Complelxu”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?
2) Apa yang melatarbelakangi munculnya teori receptio in complexu?
3) Bagaimana menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah :
1) Untuk mengetahui sejauhmana perhatian orang Islam terhadap masyarakat
2) Untuk mengetahui latar belakang munculnya teori receptio in complexu
3) Untuk mengetahui hubungan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum islam di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perhatian Islam terhadap masyarakat, latar belakang munculnya teori receptie, dan hubungan teori receptio in complex terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyarakat Islam dan Non Islam

Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yang beragam. Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama dengan menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk membatasi hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, yaitu penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan bergama dan toleransi antarumat beragama merupakan sesuatu yang penting.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.
Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.
Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?” Dengan demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu mempersandingkan kebebasan dan toleransi. Kebebasan merupakan hak setiap individu dan kelompok yang harus dijaga dan dihormati, sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.
Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam, tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-agama harus menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin lagi untuk memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi yang dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas dendam, karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu sendiri, melainkan dipengaruhi faktor lain.
Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dengan agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh kehidupan agama-agama yang ada di Indonesi
Toleransi dan kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam, telah diperaktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dengan shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh sementara pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world. Piagam madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.
(1) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
(2) Hubungan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi musuh bersama. Membela mereka yang teraniyaya saling menasehati, menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk tiga agama dan satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun bersama-sama menyertai perbedaan yang genting.
B. Latar Belakang Munculnya Teori receptio In Complexu
Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu hukum adat bangsa Indonesia. Timbulah beberapa teori yaitu: Teori pertama diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter (1799-1859) Salomo Kayzor (1823-1868) dan Odeniya William Christian Van Berg (1845-1925)
Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragam khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain, teori ini yang dikenal dengan teori receptio in complex (RIC).
Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Sibi 882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis’.
Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).
C. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam dunia ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya cukup mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa? Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab fikih yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian hukum, karena masing-masing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang terjadi adalah pertarungan madzhab. Hal ini akan sangat merugikan para pihak pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori kontrak sosial adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya. Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam-yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. 14 Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107. hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial)22. Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.
Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.

BAB III
KESIMPULAN

Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mansyur. 1991. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhara.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr.
Suepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House.

Rabu, 17 Maret 2010

Sumber Hukum Tabaiyah

Sumber Hukum Tabaiyah adalah kebalikan dari sumber hukum Ashliyah. Yang dimaksudkan dengan sumber hukum Tabaiyah adalah sumber hukum yang penggunaannya masih bergantung pada sumber hukum yang lain. Sumber hukum ini jumlahnya banyak, tetapi yang umum digunakan/banyak digunakan terbatas pada Ijma, Qaul (pendapat) Sahabat Qiyas, Istihsan, Istihslah dan Urf disamping Al-Quran dan Hadis.

Ada lima jenis sumber Hukum Tabaiyah yaitu :
1. Ijma
Ijma adalah persesuaian paham atau pendapat di antara para ulama Mujtahidin pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, untuk menentukan hukum sesuatu masalah yang belum ada ketentuan hukumnya.
Untuk mengetahui kuatnya ijma sebagai sumber hokum, maka ijma dibagi 2 macam yaitu:
• Ijma Ba’yani atau Ijma Qauly, yaitu ijma yang berdasarkan pendapat para ulama mujtahid yang mengeluarkan pendapatnya masing-masing yang kesemuanya sama untuk menentukan hukum suatu masalah.
• Ijma Syukuti, yaitu ijma yang berdasarkan pendapat seseorang atau beberapa orang ulama Mujtahid, tidak di bantah atau tidak ada reaksi oleh ulama yang lain yang mengetahui atau mendengarnya.
Contohnya : bagian kakek dari harta peninggalan cucu yang lebih dahulu meninggal daripada kakek, adalah 1/6 dari harta peninggalan jika cucu tersebut tidak meninggalkan ayah, artinya ayahnya lebih dahulu meninggal.

2. Qaul (Pendapat) Sahabat
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman pula. Oleh karena itu, mereka yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW tetapi belum memeluk islam (belum beriman), bukan sahabat Nabi.
Para ahli hukum islam (ulama) yang menjadikan qaul (pendapat) sahabat sebagai sumber hukum didasarkan pada alasan.
• Penegasan Al-Quran, dimana Allah SWT telah berfirman bahwa Allah telah ridha kepada mereka, dan merekapun ridha kepada Allah. Sehingga berpegang pada pendapat sahabat, berarti mengikuti mereka dan mendapat ridha dari Allah SWT.
• Penegasan Hadist, yang antara lain berbunyi “Saya adalah pengaman bagi sahabatku, dan sahabatku adalah pengaman bagi ummatku’ dan sahabatku adalah laksana bintang. Dengan siapa saja (diantara mereka) kamu mengikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk”. Hadist ini menunjukkan ketinggian kedudukan dan bolehnya mengikuti sahabat Nabi.c.

3. Qiyas

Qiyas adalah memperbandingkan atau mempersamakan atau menerapkan hukum dari suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya terhadap suatu perkara lain yang belum ada ketentuan hukumnya oleh karena kedua perkara yang bersangkutan mempunyai unsur-unsur kesamaan.
Sesuai pengertian diatas maka untuk menentukan hukum suatu perkara dengan jalan Qiyas, haruslah dipenuhi empat rukunnya yaitu:
• Harus ada Ashal atau pokok, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya.
• Harus ada Furu’ atau cabang, yaitu perkara yang akan ditentukan/diberi ketentuan hukum.
• Harus ada Illat, yaitu hal-hal menghubungkan kedua perkara itu yaitu ashal dan furu’.
• Harus ada hukumnya, yaitu hukum yang di terapkan pada furu’ yang diambil dari ashal.
Contohnya : gandum adalah makanan pokok untuk sebagian penduduk dunia yang dalam Al-Quran dikenakan wajib zakat, sedangkan beras yang juga merupakan makanan pokok sebagian penduduk dunia tidak ada ketentuan hukumnya.
• Gandum adalah Ashal/pokok.
• Beras adalah Furu’/cabang.
• Makanan pokok adalah Illat/hal yang menghubungkan kedua perkara itu.
• Wajib zakat adalah ketentuan hukumnya.

4. Istihsan
Istihsan adalah memindahkan atau mengecualikan hukum dari suatu peristiwa dari hukum peristiwa lain yang sejenis dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alas an yang kuat bagi pengecualian itu. Dalam pengertian yang maknanya sama, menurut Abul Hasan Al-Kharakhy ulama fiqh dari golongan hanafiah mendefinisikan bahwa istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah dari suatu hukum kepada hukum lain yang berlawanan dengannya, karena adanya dalil yang mendorong untuk meninggalkan hukum yang pertama.
Contohnya : seseorang yang berwakaf telah mewakafkan pertaniannya, maka menurut istihsan, hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air dan lorong diatas tanah tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara langsung, terdapat di dalamnya, kecuali jika hak-hak itu tercakup dialamnya atas ketetapan nash sebagaimana dalam perikatan jual beli.

5. Istishlah atau Muslahat-mursalah.

Istishlah atau muslahat-mursalah adalah menetapkan hukum dari sesuatu perkara berdasar pada adanya kepentingan umum atau kemuslahatan umat.
Penetapan hukum dengan cara istishlah hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara yang tidak dengan tegas diperintahkan atau dilarang dalam Al-Quran dan atau Hadis/Sunnah.
Para ulama menjadikan maslahat sebagai sumber hukum menetapkan beberapa persyaratan, yaitu:
• Maslahat tersebut haruslah maslahat yang haqiqi (sejati) dan bukan hanya didasarkan wahm (perkiraan) saja. Ini berarti, dalam penggunaan maslahat sebagai sumber hukum harus benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemudharan.
• Kemaslahatan itu adalah kemaslahatan umum dan menyeluruh dan bukan kemaslahatan khusus untuk kelompok atau perseorangan. Karenanya kemaslahatan ini harus dapat dimanfaatkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemudrahatan yang menimpa orang banyak.
• Kemaslahatan itu boleh bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash (Al-Quran dan Hadis) dan ijma.
• Kemaslahatan itu bukan maslahat mulgah, seperti fatwa Mufti kepada seorang raja yang membatalkan puasa ramadhan dengan sengaja.
Contohnya : Mewajibkan pajak kepada rakyat, apabila kas Negara tidak mencukupi untuk biaya pengurusan kepentingan umum. Dan menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.

6. Urf (Adat/Kebiasaan)

Dari pengertian bahasa arab Urf berarti mengetahui kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal atau di anggap baik dan dapat diterima oleh pikiran yang waras.
Menurut pengertian umum Urf adalah kebiasaan, sedangkan menurut pengertian ilmu fiqih, urf adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari kebiasaan masyarakat arab pra islam yang diterima oleh islam oleh karena tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuannya.
Syarat untuk menjadikan urf sebagai sumber hukum adalah:
• Urf tidak boleh bertentangan dengan nash (Al-Quran dan Hadis)yang qath’i.
• Urf harus berlaku secara umum pada semua peristiwa. Oleh karena itu, tidak dibenarkan urf yang sama kemudian terjadi pertentangan dalam melaksanakannya.
• Urf harus berlaku selamanya, sehingga tidak dibenarkan urf yang datang kemudian.

7. Syar’u man Qablanan (Syariah Umat Terdahulu)
Syariat umat terdahulu dibatasi masa tertentu dan khusus untuk umat tertentu pula, sedang syariah islam berlaku untuk seluruh alam dan menghapus syariah lain sebelumnya.

8. Istishab

Istishab adalah apa yang telah ada pada masa yang lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Istishab sebagai sumber hukum berpegang pada dalil, yaitu:
• Menetapkan hukum suatu perkara yang telah ditetapkan pada masa lalu menetapkan perkara fitrah, yang akan selalu berlaku pada manusia.
• Ketetapan hukum syariah memperlihatkan menunjukkan bahwa Allah menetapkan hukum berdasarkan ketetapan hokum yang telah ada, sampai terjadi perubahan padanya, misalnya keharaman khamar sampai menjadi cuka.
• Hadis Nabi yang menjelaskan perintah untuk berpuasa dan berbuka apabila melihat hilal, menurut sebagian ulama, merupakan dalil istisha, yang menetapkan bulan sya’ban sebelum nyata datangnya bulan Ramadhan dengan terlihatnya hilal.

Kelengkapan Gugatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah

Gugatan balik (reconventie) ini hanya ditemukan dalam hukum acara perdata peradilan umum yang dimuat dalam pasal 132 a dan b HIR. Akan tetapi, di lingkungan peradilan umum sudah mempergunakannya sejak tahun 1927, berdasarkan analogie (qiyas)kepada pasal 244-247 Reglement rechtsvodering (Rsv), yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa di indonesia tempo dulu.
Gugatan asal dibebut “guguatan dalam conventie. Tergugat dalam conventie (tergugat asal) adakalanya ia akan menggunakan sekaligus dalam kesempatan berpekara itu untuk menggugat kembali kepada penggugat asal (penggugat dalam conventie), sehingga tergugat asal (dalam conventie) sekaligus bertindak menjadi penggugat dalam conventie (penggugat balik). Nantinya, perkara dalam conventie dan dalam perkra itu juga, mungkin hanya dengan “satu putusan” atau bisa juga dalm “dua putusan.”
Kalau dalam satu putusan itu ada diktumnya dalam conventie dan ada diktumnya dalam reconvetie. kalau dengan dua putusan,artiya putusan pertama ialah dalam conventie dan putusan kedua ialah dalam reconventie.

1.2 Rumusan Masalah
A. Apa yang menjadi alasan bagi seseorang tergugat untukmengajukan gugatan kembali ?
B. Apa yang menjadi syarat-syarat dibolehkannya gugatan reconventie ?

1.3 Tujuan Penulisan
• Agar kita lebih memahami dasar hukum Gugatan reconventie, Dan mengetahui cara-cara syarat-syarat mengajukan gugatan.
Kegunaan penulisan
Menjadikan mahasiswa lebih mengetahui apa yang di maksud dengan Gugatan reconventie. Dan Mudah-mudahan dengan penjelasan ini bisa bermanfaat dan dijadikan acuan bagi mahasiswa yang lain.

BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Gugatan Kembali
GUGATAN KEMBALI

Gugatan reconventie adalah gugatan kembali atau gugatan balik yang
dilakukan dimuka pengadilan pada tingkat pertama oleh penggugat asal.
 syarat-syarat dibolehkannya gugatan reconventie adalah sebagai berikut:
Yaitu :
a. Mengajukan gugatan reconventie selambat-lambatnya
bersama-sama dengan jawaban dari tergugat.
b. Kalau dipengadilan tingkat pertama tidak mengajukan
reconventie maka ditingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan
gugatan reconventie.
c. Gugatan reconventie harus juga jenis perkara yang
menjadi kekuasaan dari pengadilan dalam reconventie.
d. Antara gugatan conventie dan recontie harus mengenai
satu rangkaian yang berkaitaan langsung.
e. Kalau penggugat asal sebagai wali maka gugatan
reconventie tidak bisadiajukan kepada penggugat asal sebagai wali tetapi
terhadap orang yang diwali’inya.

2.2 KELENGKAPAN GUGATAN/ PERMOHONAN:
1. Syarat /Kelengkapan Umum:
Suatu perkara, untuk dapat didaftarkan dipengadilan diperlukan syarat kelengkapan sebagai berikut:
a. Surat gugatanatau permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf maka cukup dalam bentuk catatan gugatan/ permohonan;
b. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat/pemohon;
c.Vorschot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah / desa yang telah disahkan oleh camat.

2. Syarat/Kelengkapan Khusus:
Syarat ini biasanya ditentukan oleh sifat kasusnya dan juga oleh subyek hukum dalam perkara seperti contoh berikut ini:
a. Bagi anggota TNI dan POLRI yang mau kawin atau bercerai harus melampirkan izin dari komandan.

b. Mereka yang mau berpoligami, (selain anggota TNI, POLRI dan Pengawai Negeri Sipil) harus melampirkan :

1. Surat persetujuan dari isterinya yang telah ada
2. surat keterangan penghasilan seperti daftar gaji, bukti pembayaran pajak dan daftar penghasilan lainnya;
3. Surat pernyataan bahwa ia mampu ber

c. Jika mereka hendak melakukan perceraian, maka (bagi anggota TNI/POLRI dan PNS atau yang dipersamakan harus dilengkapi izin dari komandan/atasan atau pejabat yang berwenang.

d. Semua perkara perkawinan harus melampirkan Kutipan Akta Nikah;

e. Semua perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus melampirkan Kutipan Akta Cerai;

f. Diluaryang disebutkan pada (a,b,c), jika hendak bercerai, maka harus melampirkan surat keterangan hendak bercerai dari lurah atau desa;
g. Perkara waris-mewaris harus disertakan surat keteranga kematian pewaris.. .

Sejarah Perkembangan Peradilan Agama

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA
Berbicara tentang perjalanan peradilan agama yang telah dilalui dalam rentang waktu yang demikian panjang berarti kita berbicara tentang masa lalu yakni sejarah peradilan agama.Hal ini tersebut dianggap penting untuk rencana melangkah kemasa yang akan datang, juga terhindar dari sandungan yang berulang pada lubang yang sama.Namun diakui bahwa data sejarah peradilan agama tidak mudah mendapatkannya, seperti yang dikatakan para ahli mengakui bahwa sumber rujukan peradilan agama sangatlah minim, karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik pandai masa lalu yang selalu memandang remeh.
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut.Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai–nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang–undangan, bahkan sering kali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik dimasyarakat maupun dalam peraturan perundang – undangan negara.Kekerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melakukan hukum Islam dalam wilayah hukumnya masing – masing.Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada
akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan – kerjaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten.Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar.Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerjaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya
berhasil menaklukan kerajaan – kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara.Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
Agama Islam masuk Indonesia melalui jalan perdagangan di kota – kota pesisir secara damai tanpa melalui gejolak, sehingga norma – norma sosial Islam oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganut agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia.Dengan timbulnya komunitas – komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam semakin diperlukan.
Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan
pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I.Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Pradata.Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali.Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al – Mustaqin” yang ditulis Nurudin Ar – Raniri.Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan secara resmi.Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No.152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia.

1. Periode 1945 – 1957
Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Kementiran Agama.Departemen Agama dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga – lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.Berlakunya UU No. 22 tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud – maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh
Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri.
Pada masa ini, Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada
tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan.Selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah Nomor 1/ SD, Pemerintah menegluarkan penetapan No. 5/ SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama.Sejak saat itulah peradilan agama menjadi bagian penting dari Departemen Agama.
Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama, masih ada sementara pihak tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan Peradilan Agama.Usaha pertama dilakukan melalui Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1948.Usaha kedua melalui Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil.Usaha – usaha yang mengarah pada penghapusan Peradilan Agama ini menggugah minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan
Agama.Pengadilan Agama selanjutnya ditempatkan dibawah tanggung jawab Jawatan
Urusan Agama.Penetapan Pengadilan Agama di bawah Departemen Agama merupakan langkah yang menguntungkan sekaligus sebagai langkah pengamanan, karena meskipun Indonesia merdeka, namun pengaruh teori receptie yang berupaya untuk mengeliminir Peradilan Agama masih tetap hidup.Hal ini terbukti dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama akan dimasukkan secara istimewa dalam susunan Peradilan Umum, yaitu bahwa perkara – perkara antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup (living law)
harus dipatuhi menurut hukum Islam, harus diperiksa oleh badan Peradilan Umum dalam semua tingkatan Peradilan, terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua hakim ahli agama Islam sebagai anggota, yang diangkat oleh presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.

2. Periode 1957 – 1974

Peradilan Agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun, yakni tahun 1957 – 1974 ada 4 hal yang perlu kita ketahui dengan kelahiran PP dan UU yakni PP No.29/1957 PP No.45/1957, UU No.19/1970 dan penambahan kantor dan cabang kantor peradilan agama .(Basiq Djalil, 2006:73) Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964 disah UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok – Pokok Kekuasaan Kehakiman.Menurut undang – undang ini, Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Namun tidak lama kemudian, undang – undang ini diganti dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok – Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan.Dalam Undang – Undang baru ini ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.Ditegaskan demikian karena sejak tahun 1945 – 1966 keempat lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain.
Undang – undang No. 14 tahun 1970 merupakan undang – undang organik, sehingga perlu adanya undang – undang lain sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu undang – undang yang berkait dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk juga Peradilan Agama.

3. Periode 1974 – 1989
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya UU No.1/1974
tentang perkawinan sampai menjelang lahirnya UU No.7/1989 tentang peradilan agama.Ada dua hal yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama di Indonesia:
Tentang proses lahirnya UU No.1/1974 tentang perkawinan dengan peraturan pelaksanaannya PP No.9/1974 Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui UU No.41/2004 tentang wakaf.(Basiq Djalil,2006:73)
Terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentanng Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaanya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja.Ketentuan Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Peradilan
Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Hukum Acara yang dimaksud diletakkan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal.
Secara politis, pengakuan Peradilan Agama oleh negara juga merupakan lompatan seratus tahun sejak pertama kali peradilan ini di akui oleh pemerintah pada tahun 1882.Peradilan Agama adalah simbol kekuatan dan politik Islam.

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin.

ShareThis