Rabu, 17 Maret 2010

Sumber Hukum Tabaiyah

Sumber Hukum Tabaiyah adalah kebalikan dari sumber hukum Ashliyah. Yang dimaksudkan dengan sumber hukum Tabaiyah adalah sumber hukum yang penggunaannya masih bergantung pada sumber hukum yang lain. Sumber hukum ini jumlahnya banyak, tetapi yang umum digunakan/banyak digunakan terbatas pada Ijma, Qaul (pendapat) Sahabat Qiyas, Istihsan, Istihslah dan Urf disamping Al-Quran dan Hadis.

Ada lima jenis sumber Hukum Tabaiyah yaitu :
1. Ijma
Ijma adalah persesuaian paham atau pendapat di antara para ulama Mujtahidin pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, untuk menentukan hukum sesuatu masalah yang belum ada ketentuan hukumnya.
Untuk mengetahui kuatnya ijma sebagai sumber hokum, maka ijma dibagi 2 macam yaitu:
• Ijma Ba’yani atau Ijma Qauly, yaitu ijma yang berdasarkan pendapat para ulama mujtahid yang mengeluarkan pendapatnya masing-masing yang kesemuanya sama untuk menentukan hukum suatu masalah.
• Ijma Syukuti, yaitu ijma yang berdasarkan pendapat seseorang atau beberapa orang ulama Mujtahid, tidak di bantah atau tidak ada reaksi oleh ulama yang lain yang mengetahui atau mendengarnya.
Contohnya : bagian kakek dari harta peninggalan cucu yang lebih dahulu meninggal daripada kakek, adalah 1/6 dari harta peninggalan jika cucu tersebut tidak meninggalkan ayah, artinya ayahnya lebih dahulu meninggal.

2. Qaul (Pendapat) Sahabat
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman pula. Oleh karena itu, mereka yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW tetapi belum memeluk islam (belum beriman), bukan sahabat Nabi.
Para ahli hukum islam (ulama) yang menjadikan qaul (pendapat) sahabat sebagai sumber hukum didasarkan pada alasan.
• Penegasan Al-Quran, dimana Allah SWT telah berfirman bahwa Allah telah ridha kepada mereka, dan merekapun ridha kepada Allah. Sehingga berpegang pada pendapat sahabat, berarti mengikuti mereka dan mendapat ridha dari Allah SWT.
• Penegasan Hadist, yang antara lain berbunyi “Saya adalah pengaman bagi sahabatku, dan sahabatku adalah pengaman bagi ummatku’ dan sahabatku adalah laksana bintang. Dengan siapa saja (diantara mereka) kamu mengikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk”. Hadist ini menunjukkan ketinggian kedudukan dan bolehnya mengikuti sahabat Nabi.c.

3. Qiyas

Qiyas adalah memperbandingkan atau mempersamakan atau menerapkan hukum dari suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya terhadap suatu perkara lain yang belum ada ketentuan hukumnya oleh karena kedua perkara yang bersangkutan mempunyai unsur-unsur kesamaan.
Sesuai pengertian diatas maka untuk menentukan hukum suatu perkara dengan jalan Qiyas, haruslah dipenuhi empat rukunnya yaitu:
• Harus ada Ashal atau pokok, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya.
• Harus ada Furu’ atau cabang, yaitu perkara yang akan ditentukan/diberi ketentuan hukum.
• Harus ada Illat, yaitu hal-hal menghubungkan kedua perkara itu yaitu ashal dan furu’.
• Harus ada hukumnya, yaitu hukum yang di terapkan pada furu’ yang diambil dari ashal.
Contohnya : gandum adalah makanan pokok untuk sebagian penduduk dunia yang dalam Al-Quran dikenakan wajib zakat, sedangkan beras yang juga merupakan makanan pokok sebagian penduduk dunia tidak ada ketentuan hukumnya.
• Gandum adalah Ashal/pokok.
• Beras adalah Furu’/cabang.
• Makanan pokok adalah Illat/hal yang menghubungkan kedua perkara itu.
• Wajib zakat adalah ketentuan hukumnya.

4. Istihsan
Istihsan adalah memindahkan atau mengecualikan hukum dari suatu peristiwa dari hukum peristiwa lain yang sejenis dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alas an yang kuat bagi pengecualian itu. Dalam pengertian yang maknanya sama, menurut Abul Hasan Al-Kharakhy ulama fiqh dari golongan hanafiah mendefinisikan bahwa istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah dari suatu hukum kepada hukum lain yang berlawanan dengannya, karena adanya dalil yang mendorong untuk meninggalkan hukum yang pertama.
Contohnya : seseorang yang berwakaf telah mewakafkan pertaniannya, maka menurut istihsan, hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air dan lorong diatas tanah tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara langsung, terdapat di dalamnya, kecuali jika hak-hak itu tercakup dialamnya atas ketetapan nash sebagaimana dalam perikatan jual beli.

5. Istishlah atau Muslahat-mursalah.

Istishlah atau muslahat-mursalah adalah menetapkan hukum dari sesuatu perkara berdasar pada adanya kepentingan umum atau kemuslahatan umat.
Penetapan hukum dengan cara istishlah hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara yang tidak dengan tegas diperintahkan atau dilarang dalam Al-Quran dan atau Hadis/Sunnah.
Para ulama menjadikan maslahat sebagai sumber hukum menetapkan beberapa persyaratan, yaitu:
• Maslahat tersebut haruslah maslahat yang haqiqi (sejati) dan bukan hanya didasarkan wahm (perkiraan) saja. Ini berarti, dalam penggunaan maslahat sebagai sumber hukum harus benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemudharan.
• Kemaslahatan itu adalah kemaslahatan umum dan menyeluruh dan bukan kemaslahatan khusus untuk kelompok atau perseorangan. Karenanya kemaslahatan ini harus dapat dimanfaatkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemudrahatan yang menimpa orang banyak.
• Kemaslahatan itu boleh bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash (Al-Quran dan Hadis) dan ijma.
• Kemaslahatan itu bukan maslahat mulgah, seperti fatwa Mufti kepada seorang raja yang membatalkan puasa ramadhan dengan sengaja.
Contohnya : Mewajibkan pajak kepada rakyat, apabila kas Negara tidak mencukupi untuk biaya pengurusan kepentingan umum. Dan menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.

6. Urf (Adat/Kebiasaan)

Dari pengertian bahasa arab Urf berarti mengetahui kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal atau di anggap baik dan dapat diterima oleh pikiran yang waras.
Menurut pengertian umum Urf adalah kebiasaan, sedangkan menurut pengertian ilmu fiqih, urf adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari kebiasaan masyarakat arab pra islam yang diterima oleh islam oleh karena tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuannya.
Syarat untuk menjadikan urf sebagai sumber hukum adalah:
• Urf tidak boleh bertentangan dengan nash (Al-Quran dan Hadis)yang qath’i.
• Urf harus berlaku secara umum pada semua peristiwa. Oleh karena itu, tidak dibenarkan urf yang sama kemudian terjadi pertentangan dalam melaksanakannya.
• Urf harus berlaku selamanya, sehingga tidak dibenarkan urf yang datang kemudian.

7. Syar’u man Qablanan (Syariah Umat Terdahulu)
Syariat umat terdahulu dibatasi masa tertentu dan khusus untuk umat tertentu pula, sedang syariah islam berlaku untuk seluruh alam dan menghapus syariah lain sebelumnya.

8. Istishab

Istishab adalah apa yang telah ada pada masa yang lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Istishab sebagai sumber hukum berpegang pada dalil, yaitu:
• Menetapkan hukum suatu perkara yang telah ditetapkan pada masa lalu menetapkan perkara fitrah, yang akan selalu berlaku pada manusia.
• Ketetapan hukum syariah memperlihatkan menunjukkan bahwa Allah menetapkan hukum berdasarkan ketetapan hokum yang telah ada, sampai terjadi perubahan padanya, misalnya keharaman khamar sampai menjadi cuka.
• Hadis Nabi yang menjelaskan perintah untuk berpuasa dan berbuka apabila melihat hilal, menurut sebagian ulama, merupakan dalil istisha, yang menetapkan bulan sya’ban sebelum nyata datangnya bulan Ramadhan dengan terlihatnya hilal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis